BPR Perlu Diberikan Sweetener Regulasi
Ketatnya persaingan dan langkanya sumber daya manusia membuat BPR harus menata kembali industrinya agar terus bisa berkembang.Perlureorientasi bisnis BPR?
Zaman telah berubah. BPR pun sudah memiliki ‘adik’ baru yang disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Di sisi lain, peraturan yang dialamatkan pada industri BPR dirasa semakin ketat. Lalu mau dibawa kemana industri BPR? Pertanyaan itu menjadi tema sentral pada acara sarasehan di Bank Indonesia, 1 Oktober 2015, yang dihadiri oleh Kepala OJK, Pengurus Perbarindo, dan para Pengawas BPR . |
Dalam pembukaan sarasehan tersebut, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa dibutuhkan revolusi mental untuk melihat secara lebih segar tentang BPR. Diakuinya bahwa pertumbuhan BPR terus meningkat dalam lima tahun terakhir, namun memang proporsinya masih di kisaran 1,6% terhadap industri perbankan nasional. Artinya peningkatan tersebut cenderung stagnan.
“BPR memang tumbuh dalam lima tahun terakhir. Ini menurut saya cukup meyakinkan, dari sisi kredit dan asset tumbuh 15%-17% per tahun,†ujar Muliaman. Namun katanya dari pertumbuhan anatomi itu banyak dimotori BPR-BPR yang relatif besar, bukan dari BPR yang kecil-kecil. Sebaliknya jika melihat BPR yang bermasalah selama ini adalah BPR yang kecil-kecil. “Saya melihat pertumbuhan BPR relatif tidak merata†ujarnya.
Menurutnya, BPR yang bermasalah itu memang karena dicurangi oleh diri sendiri. Artinya karena fraud dan masalah internal. “Tidak ada saya lihat BPR yang kalah bersaing lalu tutup. Dari statistik BPR yang kita likuidasi itu semua karena fraud,†ungkap Muliaman dihadapan para pengurus Perbarindo dan Pengawas BPR.
Selain itu, kata Muliaman, sulitnya mendapatkan environment yang dihadapi BPR baik dalam konteks persaingan maupun catch up dengan regulasi yang ada, menjadi sorotan tersendiri.
Dari kacamata regulasi dan isu yang ada, Muliaman mengajak seluruh pihak yang terkait dengan industri BPR untuk melihat secara dekat dan dari aspek bisnisnya. “Saya kira BPR memerlukan ruang yang lebih memadai sehingga bisa memmberikan layanan yang lebih pada masyarakat. Lalu dari BPR juga diperlukan persiapan, terutama investasi yangtidak kecil, seperti investasi di bidang teknologi, sdm, dan lain sebagainya,†imbuh Muliaman.
Memang, tanpa modal yang kuat, rasanya sulit bagi BPR untuk menjalani perannya di tengah persaingan ketat. Dan menyangkut sumber daya ma
nusia, Muliaman meminta untuk diagendakan dandipikirkan ke depan secara bersama. Semua itu perlu dilakukan agar BPR punya orientasi baru di tengah perkembangan industri keuangan yang begitu cepat.
Melisting isu-isu terkait perkembangan BPR dan melihatnya dari keleluasaan usaha ataupun lingkungan regulasi/supervisory yang lebih kondusif bagi BPR, menjadi hal utama dalam sarasehan ini.
Melihat bahwa perkembangan yang terjadi di industri keuangan begitu cepat, makaBPR perlu memperkuat posisinya. Terutama karena munculnya perundang-undangan yang mengatur tumbuh kembang lembaga keuangan mikro (LKM)- UUNo. 1 tahun 2013 tentang LKM, yang menjadi formalisasi LKM yang telah berdiri. Dengan resminya LKM hadir, lalu dimana posisi BPR itu berada?Atau mau dibawa kemana BPR?
Posisinya menjadi dilematis, karena BPR kian terdesak. Ke atas berarti menyudul bank umum, sementara ke bawah pasarnya sudah mulai dimasuki oleh LKM. “Situasi ini yang membuat BPR memerlukan reorientasi. Kalau tidak mengikuti inisiatif perubahan yang kita desain bersama saya rasa akan sulit,†ujar Muliaman. Untuk itulah dalam sarasehan ini, Muliaman berharap mendapatkan banyak masukan dan pandangan. “Saya ingin sesuatu yang fundamental. Lebih baik potret besarnya, baru sesudah itu bagaimana pendekatan regulasinya,†tambahnya.
Pemikiran dan pendekatan baru yang itu menurut Muliaman perlu dipikirkan bersama (Perbarindo dan OJK). “’Menurut saya perlu ada reorientasi atas atau bawah atau tengah. Bagaiamana arah yang baru nantinya terkait pembiayaan, pada segmen mana nanti BPR,†kata Muliaman. Intinya adalah bagaimana membangun BPR ini agar betul-betul berbasi community dan murah dalam layanan serta friendly. “Saya kira teman-teman OJK juga harus open minded. Kalau memang ada peraturan yang perlu diubah ya diubah. Tentu ada dua peraturan yang tidak boleh tercerabut dari akarnya.Pertama tentang perlindungan konsumen dan kedua soal prudentialnya.
Kemudahan Regulasi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP Perbarindo Joko Suyanto mengungkapkan tentang perlunya BPR diberikan kemudahan regulasi. Misalnya daripada BPR yang akan “disuntik mati†lebih baik “dikasih†ke investor lalu diberikan kemudahan dan direlokasi ke populasi yang lebih kecil. .â€Jadi exit policy-nya mungkin sebelum disuntik benaran ya ditawarkan dulu untuk relokasi,†ujar Joko.
Seperti diketahui bahwa jumlah BPR saat ini 72%-nya berada di Jawa dan Bali. Pertanyaannya jika BPR di Jawa dan Bali tersebut direlokasi di luar Jawa, Jok menyatakan itu akan sulit terjadi. “Jangankan BPR-nya, orangnya saja belum tentu mau direlokasi,†tandasnya. Jadi,kata Joko, faktanya kalau relokasi itu tanpa sweetener insentif maka akan sangat sulit terealisasi. “Saya kira proses pemindahan itu diberikan sweetener agar lebih dipermudah. “Kalau seandainya ‘sweetener’itu diregulasikan maka akan menarik bagi investor,†imbuh Joko dihadapan Kepala OJK yang hadir dalam acara sarasehan.
Sementara itu Eko B Supriyanto (Biro Riset Infobank) menyatakan bahwa BPR harus terus didorong, karena memiliki market yang cukup besar. Kecuali BPR yang memang fraud itu tidak bisa ditolak jika harus dilikuidasi. “Tapi sepanjang BPR itu sehat, sekecil apa pun BPR itu, sebaiknya biarkan saja,†ungkap Eko.
Dalam materi presentasinya, Eko juga mengungkapkan bahwa peran BPR cukup strategis dan perlu didorong. Misalnya BPR berperan strategis dalam memperbaiki fungsi intermediasi perbankan nasional. Selain itu BPR juga memberikan akses keuangan lebih luas kepada UMKM baik secara formal/informal dan masyarakat setempat. Dan pastinya BPR juga mendukung pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal.
Ingat, satu hal yang tak bisa dihindari adalah BPR akan mengalami tingkat persaingan yang lebih tajam dengan bank-bank umum di sektor UMKM. Tidak hanya soal suku bunga yang sangat tinggi, tapi juga akses produk lainnya. (Roes)