BPR berperan besar mendorong UMKM bertranformasi bisnis, menjadi lebih mandiri, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat perdesaan. BPR merespons tantangan perlambatan ekonomi, rendahnya literasi keuangan, persaingan penyaluran KUR, dan maraknya peer to peer lending.
Kemampuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam menyalurkan kredit kepada sektor usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) hingga Rp 80 trilyun lebih menunjukkan perannya yang signifikan untuk perekonomian nasional. Namun, tantangan yang dihadapi BPR dalam peran intermediasi finansialnya untuk UMKM semakin besar. Turbulensi perekonomian global yang dapat memengaruhi sektor UMKM di Tanah Air masih terbuka lebar.
Sementara itu, tingkat literasi masyarakat terhadap akses produk dan jasa perbankan masih rendah. Selain itu, banyak juga sektor UMKM yang belum feasible dan bankable, sehingga terjerat lintah darat dan belum tersentuh oleh industri jasa keuangan. Pada sisi lain, persaingan dalam penyaluran kredit melalui kredit usaha rakyat (KUR) dan fintech peer to peer lending semakin pesat. Semua tantangan tersebut harus disikapi oleh BPR dengan tepat.
Untuk melihat lebih mendalam cara BPR merespons dan menciptakan peluang usaha menjadi lebih prospektif, Joni Aswira Putra, G.A. Guritno, dan fotografer Ardi Widi Yansah dari Gatra mewawancarai Joko Suyanto di kantornya, di Lantai 5 Menara Hijau, Jalan MT Haryono Kav. 33 Jakarta Selatan, pada Jumat pagi pekan lalu. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat dinamika ekonomi 2016, terutama dampaknya terhadap sektor perbankan?
Bicara industri jasa keuangan, khususnya perbankan, saya pastikan ada variabel makro-ekonomi yang memengaruhi kinerja dan penetrasi, khususnya fungsi intermediasi finansial. Secara menyeluruh, ekonomi kita tidak bisa lepas dari dinamika global pertumbuhan negara-negara yang sedang menguasai perekonomian, seperti Cina, Jepang, ASEAN, Amerika, dan Eropa. Tentu, variabel itu akan memengaruhi ekonomi kita. Pertumbuhan ekonomi kita pada 2016 sebesar 5%-5,1%. Sedikit meningkat dibandingkan dengan 2015 lalu yang sekitar 4,8%. Dari situ, kita melihat ada geliat perekonomian yang tumbuh.
Bagaimana outlook sektor perbankan di 2017?
Peluang di 2017 besar. Postur RAPBN 2017 dan target pertumbuhan 5,3% menjadi peluang dan sekaligus tantangan bagi industri jasa keuangan.
Bagaimana dinamika perbankan dan BPR terkait likuiditas, penyaluran, dan NPL-nya?
Saat ini, di industri perbankan ada bank umum dan BPR. Kurang lebih, melihat fakta pertumbuhan ekonomi pada 2016, kita harus melihat pertumbuhan dari bank umum. Dari sejumlah indikator, pertumbuhan bank umum mengalami perlambatan. Saya melihat seluruh potensi bank umum mempunyai fokus perhatian lebih kepada prudential banking dan juga wait and see dengan dinamika ekonomi regional serta global.
Bagaimana dengan kondisi industri BPR sendiri?
Kalau melihat dari sisi industri BPR, misalnya dari sisi aset tahun 2015, bisa tumbuh 13,19%. Lalu pada 2016 di posisi Oktober Y to Y-nya tumbuh 11,41%. Sedangkan penetrasi dari pinjaman yang diberikan, tahun 2015 Y to Y bisa tumbuh 9,41%. Posisi Oktober 2016 hanya 8,13%. Ini pun laju pertumbuhan di Oktober sudah cukup bagus.
Di sisi DPK-nya, tahun 2015 tumbuh 12,93% sementara sekarang pertumbuhannya 10,62%. Artinya, kalau kita bicara pertumbuhan, kurang lebih industri BPR, pertumbuhan pada 2016 hampir sama dengan tahun lalu. Tidak bisa melampaui secara signifikan, tapi hampir sama dengan tahun lalu. Kredit yang kita berikan kurang lebih mampu tumbuh di angka 9%-10%.
Terkait dengan likuiditas, BPR cukup baik karena rasio loan to deposit rasio (LDR) kita pada posisi Oktober masih di angka 77,42%. Sebenarnya, BPR masih mempunyai kemampuan penetrasi terhadap ketersediaan likuiditas. Kemudian, dari sisi CAR masih sangat sehat pada posisi Oktober di angka 29,70%. Jadi, masih bisa diandalkan untuk penetrasi lebih mendalam.
Indikator dari sisi NPL-nya seperti apa?
Sebenarnya non-performing loan itu bukan sekadar kredit macet, tapi terdiri dari kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Secara keseluruhan, di posisi Oktober adalah 6,6%. Jika dibanding dengan tahun lalu yang 5,4%, ada peningkatan. Tapi kami melihat satu hal, barangkali dari sisi internal, mungkin prinsip kehati-hatian perlu ditingkatkan lagi. Saat ini, bukan berarti kita tidak prudent, tapi kondisi perekonomian ini kan bergeser, sehingga perlu memunculkan strategi-strategi baru seperti pengendalian terhadap kredit macet agar bisa ditekan semakin rendah. Tapi, dalam kondisi non-performing sebesar itu, kenyataannya dalam industri, khususnya UMKM, dari sisi efisiensinya masih dalam rasio 81,51%. Artinya, itu menunjukkan bahwa tingkat rasio efisiensi masih sangat sehat.
Untuk menghadapi peluang dan tantangan 2017, langkah strategis apa yang perlu dimainkan BPR?
Pertama, ada optimisme seiring dengan membaiknya perekonomian makro Indonesia. Kenaikan target pertumbuhan akan berdampak pada sektor riil. Lalu, kebijakan pemerintahan Jokowi dalam dua tahun terakhir telah membawa dampak pada pembangunan infrastruktur, lalu dari perpajakan ada tax amnesty, pengembangan ekowisata, dan lain-lain. Itu semua pro pada sektor rill. Masih ditambah berbagai program pendampingan pemberdayaan ekonomi yang langsung kepada masyarakat dan juga kebijakan di sektor pendidikan dan kesehatan.
Tantangan khusus di BPR di tingkat persaingan akan semakin tinggi. Bank-bank umum sekarang tidak hanya bergerak di kelas korporasi, tapi juga ditugaskan UU untuk melakukan penetrasi di tingkat UMKM. Dari pemerintah ada tugas menyalurkan program KUR dengan target tahun ini sebesar Rp 120 trilyun dengan bunga 9%. Itu tantangan bagi BPR.
Adanya KUR berbunga 9%, apakah berarti BPR harus jeli mencari segmen, target customer dan pasang strategi baru?
Khusus mengenai KUR, yang asosiasi lakukan adalah, pertama bagaimana BPR juga bisa menjadi pemain untuk bisa menyalur KUR. Itu sudah kita inisiasi. BPR bisa menjadi penyalur tentunya bekerja sama dengan bank umum. Dan asosiasi sudah menjalin kerja sama itu, terutama dengan BNI. Kolaborasi itu dinamakan linkage. Polanya sebagai eksekutor, di mana BPR menjadi mitra bank umum yang menyalurkan KUR melalui BPR. Khusus untuk hal ini, asosiasi sudah lakukan sejak Maret 2016. Sudah banyak BPR yang menjalankannya.
Regulasinya apakah memungkinan BPR menyalurkan KUR?
Sebenarnya, BPR-BPR yang memiliki persyaratan tertentu dan diizinkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), punya kemampuan keuangan yang cukup, bisa juga menyalurkan KUR secara langsung. Itulah inisiasi asosiasi. Kemudian, yang harus kita lakukan di sisi kelembagaan adalah dengan adanya scheme-scheme program pemerintah maupun scheme-scheme bank umum penetrasi ke UMKM.
Sudah seharusnya, BPR-BPR ini punya keunggulan komparatif. Kita punya anggota lebih dari 1.600, dari Aceh sampai Papua, dan total kantor ada sekitar 6.000 unit dengan total pegawai sekitar 60.000 orang. Bicara keunggulan komparatif, seharusnya kantor unit kita-lah, yang berdekatan dengan basis UMKM di daerah-daerah. Dengan keunggulan komparatif tadi, kita kemudian memberi pelayanan secara personal approach, jemput bola, mudah dan sederhana. Itulah cara kita menjawab tantangan.
Bagaimana menghadapi UMKM yang dinilai belum bankable?
Masih banyak masyarakat UMKM yang mungkin feasible atau layak tapi tidak bankable atau tidak memenuhi persyaratan bank. Prinsipnya, karena ini adalah bank yang harus menjalankan regulasi dan diawasi oleh OJK, rule governance harus sehat, dikelola secara prudent. Maka di BPR ada manajemen risikonya. Kalau kita bicara bagaimana tata cara pemberian kredit yang sehat, tentu diatur dan kita diawasi oleh OJK.
Bagaimana membuat UMKM menjadi bankable?
Prinsip prudent, persyaratan dan teknis bank sudah merupakan keharusan. Hanya, di lapangan ada yang tidak feasible dan tidak bankable. Maka, kita harus meng-improve supaya mereka yang belum feasible bisa menjadi feasible dan bankable seperti apa. Oleh karena itu, pola yang kita kembangkan melalui gotong-royong dengan membangun komunitas-komunitas masyarakat. Harapannya terbangun, yang mampu menggendong yang tidak mampu. Contohnya, dalam satu komunitas ada satu orang yang bisa menjaminkan sepuluh orang. Kita tidak mungkin menyalurkan kredit tapi melanggar aturan.
Berapa total dana BPR yang disalurkan kepada UMKM?
Total per Oktober 2016, kredit yang kita salurkan pada UMKM ada Rp 80,2 trilyun dengan jumlah nasabah 14 juta orang atau rekening. Terdiri dari rekening penabung 10,5 juta, rekening peminjam 3 juta orang, dan deposan kurang lebih 500.000 orang.
Kemudian, apakah BPR ini benar-benar melayani UMKM, bisa dilihat dari rata-rata per rekening yang mendapatkan kredit dari total Rp 80 trilyun. Per rekening kurang lebih satu orang itu Rp 27 juta, rata-rata sebesar itu. Jadi, artinya, penetrasinya memang ke mikro dan UMKM. BPR ini sesuai dengan khitahnya: melayani UMKM.
Rentang kreditnya apakah ada yang di bawah Rp 5 juta dan di atas Rp 500 juta?
Kredit dari BPR ini ada yang di bawah Rp 5 juta. Tapi, tak menutup kemungkinan ada yang ratusan juta. Yang di angka Rp 500 juta mungkin ada. Tapi, rata-rata sudah ada yang mencapai ratusan juta. Kan BPR di Indonesia ada yang sudah beraset Rp 6 trilyun. Tapi sisi lain, masih ada BPR yang punya aset di bawah Rp 10 milyar. Sehingga variabel nasabahnya pasti beda-beda.
Kalau BPR kecil-kecil pasti nasabahnya kecil-kecil. Kalau BPR besar, nasabahnya juga besar, karena sudah dibina puluhan tahun. Prinsipnya, industri ini on the track. BPR ini segmennya adalah UMKM. Dari jumlah rekening 14 juta itu, peran BPR sebagai garda terdepan signifikan. Khususnya dalam pengenalan masyarakat ke dunia perbankan, peran itu sudah terbukti. Ini bukan besarnya rupiah. BPR dibanding bank umum beda kelas dan beda level. Tapi dilihat sejauh mana penetrasinya.
Segmen profesi atau bidang yang dilayani BPR seperti apa?
Sektor yang mendapat penetrasi beragam, dari pertanian, perikanan, perdagangan, dan jasa. Untuk jasa dan perdagangan kurang lebih 60%. Sisanya di-share ke masing-masing sektor.
Bagaimana BPR merespons terobosan seperti bancassurance yang dilakukan bank umum?
Prinsipnya, jika sesuatu bank secara aturan diperbolehkan, mungkin saja dilakukan oleh BPR. Sekarang ini, baik industri perbankan maupun industri keuangan non-bank semuanya diawasi oleh OJK. Seharusnya memang bisa, misalnya BPR juga bisa memasarkan asuransi mikro, itu saya pikir ke depan tak tertutup kemungkinan. Karena sebenarnya akan menguntungkan semua pihak, masyarakat dan industri itu sendiri. Jadi, tak menutup kemungkinan tapi tidak terlepas dari sesuatu yang diperbolehkan oleh aturan.
Bagaimana BPR menghadapi fenomena fintech seperti peer to peer lending yang akan tumbuh pesat?
Pada dasarnya, fintech yang peer to peer lending adalah pelayanan keuangan yang berbasis teknologi non-bank. Itu bukan bank, itu yang pertama harus dimengerti. Ya tentunya enggak boleh sama ketentuan kalau BPR ikut ke peer to peer lending. Yang diperbolehkan undang-undang seperti apa, sesuai peraturan OJK. Ini berlaku juga untuk bank umum.
Namun pada intinya, hal ini menjadi sebuah tantangan bahwa kehadiran fintech itu sebuah keniscayaan, sudah hadir dan akan berkembang di Republik ini. Meskipun, sekarang regulasinya masih dalam tahapan penggodokan. Ini suatu hal yang berbeda. BPR punya ketentuan tersendiri atas dasar prinsip intermediasi dan punya basis pelayanan yang diperbolehkan oleh ketentuan.
Berarti ke depan fintech memang menjadi tantangan bagi BPR?
Bermainnya beda. Karena fintech ini beberapa meniadakan fungsi bank. Orang yang punya funding langsung ke user. Kalau sistem perbankan kan di tengahnya ada bank. Orang yang punya uang menyimpan ke bank, dan bank menyalurkan ke orang lain. Fungsi intermediasi finansial ada. Kalau fintech itu enggak ada fungsi intermediasi. Yang punya dana langsung ke user. Tentunya fenomena fintech ini harus disikapi oleh BPR dengan antisipasi. Dalam konteks ini, kehadiran fintech akan membuat persaingan semakin kompetitif.
Apa yang bisa dilakukan BPR?
Banyak hal bisa dilakukan, seperti menaikkan servis level BPR dengan pelayanan keuangan berbasis teknologi dan memelihara yang sudah ada. BPR sudah menggunakan teknologi dan harus terus memperbaiki servis levelnya. Asosiasi sudah bekerja sama, khususnya dengan bank umum dalam hal mengadakan ATM. Kalau BPR punya ATM, artinya pelayanan basis teknologinya meningkat. Kita terus membahas, sedang dalam perizinan, dan ada pilot project-nya.
Terobosan yang lain dari BPR?
Kita juga sedang mengkaji kemungkinan BPR punya e-cash. Jadi bank umum punya produk e-cash dan BPR ini positioning-nya agen bank umum. Sehingga masyarakat pengguna jasa BPR juga bisa menggunakan teknologi melalui android dan iOS. Mau bayar pulsa, bayar listrik, cukup dengan android-nya. Itu salah satu peningkatan servis levelnya. Bisa kirim kemana-mana, tapi tetap saja kerjasama dengan Bank Umum.