BANK-BANK di Indonesia bakal kena “palak†lagi. Setelah dikenai iuran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), premi simpanan, kini ada iuran premi restrukturisasi yang ditulis palak dengan tanda petik. Sementara bank-bank tidak boleh menikmati margin terlalu besar, gaji dibatasi, dan menjadi pusat sorotan publik, termasuk oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, yang menegaskan bahwa masih banyak bankir yang tidak ikut tax amnesty.
Pernyataan Sri Mulyani cukup keras. “Kalau Anda tidak ikut tax amnesty, saya tahu nama Anda, alamat Anda, bank Anda, dan saya pasti akan periksa Anda. Kalau saya periksa Anda, rate-nya harus Anda bayar 25%, bukan seperti tax amnesty. Tidak hanya 25%, saya akan yakinkan Anda kena denda administrasi 2% per bulan. Jadi, kalau Anda punya harta yang belum disampaikan, sampaikan di tax amnesty,†tegas Sri Mulyani dalam acara Ikatan Bankir Indonesia (IBI), beberapa saat lalu.
Selama ini sebenarnya para bankir sudah dengan sendirinya membayar pajak karena gaji yang diterima sudah secara langsung dipotong. Bisa jadi para bankir ini hanya melakukan perbaikan SPT semata yang selama ini ada yang lupa dilaporkan. Jika memang pernyataan Sri Mulyani benar bahwa banyak bankir tidak ikut tax amnesty dan tidak melakukan perbaikan SPT yang diperbolehkan, para bankir masih punya kesempatan sebelum digugurkan jadi bankir dengan tidak lolos fit and proper test ulang.
Namun, intinya bukan itu, melainkan gertakan kepada bankir itu yang jadi masalah karena sepertinya bankir bagaikan kebun binatang yang dijadikan tempat perburuan. Para bankir selalu patuh, disuruh iuran OJK tidak jadi masalah, disuruh sertifikasi risk management mereka nurut. Tak hanya itu, disuruh membayar premi penjaminan flat juga tidak melawan. Gaji dan bonus dibatasi ya silakan saja. Termasuk suku bunga dibatasi ya mengikuti.
Nah, seperti amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), khususnya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf C dan ayat (2) UU PPKSK, bahwa salah satu sumber pendanaan program restrukturisasi perbankan berasal dari kontribusi industri perbankan.
Kontribusi merupakan bagian dari premi penjaminan (UU LPS) yang penetapannya dilakukan sebelum program restrukturisasi perbankan diselenggarakan. Besaran bagian premi untuk pendanaan program restrukturisasi perbankan yang akan dituangkan dalam peraturan pemerintah (direncanakan disahkan pada April 2017).
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) akan mencakup empat pokok pikiran, yang meliputi cakupan bank, besaran premi, waktu pembayaran premi, dan metode penghitungan premi. Intinya, bank-bank bakal terkena iuran lagi, terkena “palak†lagi. Intinya, beban lagi, beban lagi.
Harus diakui memang program restrukturisasi ini bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan bank secara individu, melainkan lebih kepada industri, untuk menjaga “value†industri perbankan agar tetap terjaga dengan baik. Jika demikian, dan tidak bisa lagi menolak karena perintah UU, diharapkan besaran premi bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing bank yang berbeda-beda kinerjanya, jadi tidak dapat disamaratakan. Bank berkinerja baik akan memperoleh insentif dari program ini.
Menurut simulasi besaran premi yang sudah dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ialah dengan menetapkan pertama kali target fund yang akan dihimpun selama satu kurun waktu tertentu. Sebagai contoh di negara lain, Jerman: 0,05% x PDB (15 tahun); Swedia: 2,5% x PDB (15 tahun); Jepang: 0,038% x simpanan (20 tahun); Uni Eropa: 1,05% x total simpanan yang dijamin (8 tahun). Sementara itu, IMF: 2% – 4% x PDB (nett).
Metode penghitungan yang diusulkan dengan menggunakan dua opsi, yaitu flat rate dan multiple bucket premium, dalam hal ini digunakan beberapa parameter, seperti kelompok bank berdasarkan BUKU 1 sampai dengan BUKU 4, kelompok risiko bank atau kombinasi keduanya.
Apa pun ceritanya, premi restrukturisasi ini adalah beban bagi bank. Beban ini sudah pasti akan dikenakan kepada nasabah. Jika demikian, apakah mungkin suku bunga perbankan nasional bisa bersaing dengan suku bunga bank dari negara-negara lain di ASEAN? Mimpi basah saja suku bunga bank di Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia atau Thailand karena operational cost yang menjadi struktur suku bunga kredit saja terus membesar.
Ada banyak iuran. Semua itu beban. Jika tidak bisa mengelak, ada beberapa catatan, bagaimana probabilitas terjadinya kegagalan bank dan bagaimana program restrukturisasi ini dijalankan (trigger point). Kondisi-kondisi itu perlu dapat dipertimbangkan sehingga dapat dimasukkan dalam formula penetapan premi.
Bagaimana bank-bank yang tidak masuk kategori sistemik yang tidak otomatis akan diselamatkan tapi tetap membayar iuran premi restrukturisasi untuk industri? Artinya, membayar untuk industri yang tidak akan dinikmati secara langsung bagi banknya.
Sejalan dengan itu, waktu pembayaran premi yang diharapkan bisa dilakukan secara conditional, disesuaikan dengan kondisi industri perbankan (kapan akan dikenakan dan kapan akan dihentikan). Jujur, karena bagaimana pun, bagi bank, premi ini merupakan tambahan biaya yang harus dapat dikelola dengan baik agar efisiensi tetap terjaga.
Semoga “palak†baru ini tidak menjadi beban terlalu berat bagi bank-bank yang tengah melakukan upaya efisiensi. Tidak mudah menjadi bankir di Indonesia. Katanya lebih mudah masuk surga dibandingkan dengan menjadi bankir di Indonesia—karena segala aturan dan beban sedang menumpuk di pundak bankir.
Sumber : infobanknews.com