Peran pemda di BPR saat ini terbatas pada penyertaan modal dan sebagai pengawas BPR. Peran pemda itu perlu ditingkatkan agar kontribusi BPR milik pemda dalam pembangunan daerah meningkat.
Jakarta – Peran industri bank perkreditan rakyat (BPR) di industri keuangan nasional memang tidak sebesar bank umum. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, aset industri BPR hanya mencapai 1,69% dari total aset bank umum. Namun, peran BPR dalam mendorong perekonomian di daerah sangat vital.
Kendati demikian, jejak langkah BPR ke depan makin berat. Begitu banyak tantangan yang harus dihadapi industri ini, baik dari internal BPR sendiri maupun dari lingkungan bisnisnya. Seperti diketahui, cukup banyak kebijakan pemerintah yang berpotensi menekan bisnis BPR pada masa mendatang. Salah satunya, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bersubsidi yang bunganya dipatok 9% tahun ini dan direncanakan 7% pada 2017. Selain itu, kewajiban penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bank umum minimal 20% dari portofolio kredit serta rezim bunga rendah single digit yang dicanangkan pemerintah. BPR juga harus menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta serbuan agen laku pandai atau (branchless banking) bank umum.
Sementara, secara internal, kelembagaan BPR sendiri masih memiliki banyak kelemahan. Antara lain, keterbatasan modal, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), belum maksimalnya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance atau GCG), serta minimnya infrastruktur teknologi informasi (TI).
OJK telah menerbitkan sejumlah aturan untuk membenahi kelemahan-kelemahan tersebut. Sehingga, seiring dengan berjalannya waktu, BPR diharapkan bisa membenahi seluruh permasalahannya itu dan meningkatkan daya saingnya di industri keuangan nasional.
Meski begitu, tantangan di lingkungan bisnis tidak akan menunggu hingga BPR bisa membenahi masalah-masalahnya. BPR membutuhkan strategi jangka pendek untuk menghadapi tantangan bisnis yang telah mengadang. Sementara ini, dukungan bagi industri BPR baru sebatas regulasi baru yang diterbitkan OJK. Karena itu, BPR saat ini harus mencari jalan agar bisnis mereka tidak terdampak terlalu dalam.
Hingga Agustus 2016, industri BPR masih menunjukkan kinerja positif. Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), pada periode Januari sampai dengan Agustus 2016 kredit BPR tumbuh 6,59% secara year to date (ytd), sedangkan dana pihak ketiga (DPK) dan asetnya masing-masing tumbuh 7,85% dan 6,26%. Itu menunjukkan bahwa BPR masih mempunyai taji untuk tumbuh, kendati banyak tantangan mengadang.
BPR juga memiliki peranan besar dalam meningkatkan perekonomian daerah sesuai dengan program Nawacita pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yakni membangun dari pinggir. Untuk mencapai cita-cita itu, akses masyarakat kecil terhadap BPR harus terus ditingkatkan.
Sayangnya, kelemahan-kelemahan yang ada pada BPR membuat produk dan layanannya menjadi terbatas. BPR pun sulit mendapatkan dana murah yang menyebabkan tingginya biaya dana, inefisiensi, serta biaya overhead tinggi. Alhasil, itu menjadi batu sandungan bagi industri BPR dalam memajukan perekonomian daerah.
Pemerintah daerah (pemda) juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan perekonomian daerahnya. Salah satunya, melalui badan usaha milik daerah (BUMD), di mana BPR merupakan salah satu BUMD. Saat ini peran pemda di BPR terbatas pada penyertaan modal dan sebagai pengawas BPR.
Padahal, BPR juga memiliki potensi untuk menjadi bank pengelola keuangan daerah. Lambannya penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) membuat dana milik pemda yang menganggur di bank cukup besar. Awal Agustus lalu Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa dana APBD kabupaten/kota yang tersimpan di bank sampai dengan Mei 2016 mencapai Rp246 triliun.
Jika BPR dipercaya menjadi pengelola dana APBD, dana pemda yang menganggur itu tentu dapat digunakan untuk meningkatkan likuiditas BPR, untuk disalurkan menjadi kredit kepada pelaku UMKM. Berkaitan dengan pembangunan ekonomi daerah, BPR pun dapat lebih menyentuh masyarakat berpenghasilan rendah di daerah dan menyalurkan kredit mikro sehingga bisa berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian masyarakat kecil.
Dengan begitu, kinerja BPR meningkat dan kontribusi BPR terhadap pendapatan asli daerah (PAD) pun meningkat.
Selama ini kinerja BPR milik pemda hanya dinilai dari kontribusinya terhadap PAD. Harus diakui, kontribusi BPR milik pemda terhadap PAD relatif masih sangat kecil. Namun, BPR memiliki akses yang luas terhadap segmen UMKM sehingga dapat menggerakkan UMKM yang memiliki efek pengganda yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Menurut Fran Suharmaji, Direktur Utama PD BPR Bank Bapas 69, seharusnya pemda mengelola dananya di BPR. Karena, dengan begitu, pemda bisa memberdayakan bank miliknya sendiri yang telah mengenal potensi daerahnya. “Hanya, pemberiannya harus proporsional sesuai dengan kemampuan BPR-nya. Pemberiannya juga harus sedikit-sedikit,†jelas Aji, panggilan akrab Fran, kepada Infobank, bulan lalu.
Muhammad Sigit, Direktur Utama PD BPR Bank Sleman, juga memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, BPR lebih memahami kebutuhan daerah daripada bank umum ataupun bank pembangunan daerah (BPD). “Nasabah BPR semuanya golongan mikro dan kecil. Jadi, kalau BPR diberi amanah mengelola dana daerah, maka manfaatnya sangat baik bagi masyarakat bawah dan PAD yang lebih besar,†terangnya kepada Infobank.
Namun, tak sembarang BPR dapat diberi amanah itu. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Tak hanya dari sisi kesehatan BPR, seperti modal, likuiditas, solvabilitas, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL), tapi juga dari kesiapan BPR dalam mengembangkan usahanya, antara lain kualitas SDM, jaringan, dan infrastruktur TI.
Sebagai contoh, pada 2009 dana APBD Pemerintah Kabupaten Lampung Timur senilai Rp106 miliar dan Lampung Selatan senilai Rp60 miliar yang disimpan di BPR Tripanca tidak dapat ditarik kembali karena BPR Tripanca dilikuidasi. Likuidasi BPR Tripanca ketika itu terkait dengan usaha ekspor-impor kopi yang dijalankan pemiliknya, Sugiharto Wiharja, melalui induk perusahaannya, Tripanca Group, yang terguncang gejolak harga kopi dunia.
Selain itu, BPR berpotensi menjadi seperti BPD yang sudah terlalu nyaman mengandalkan niche market-nya, yakni pegawai pemda. Kondisi demikian bisa jadi membuat BPR kesulitan untuk lebih menggenjot bisnisnya di luar pasar itu.
Saat ini Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah juga menjadi ganjalan bagi BPR untuk menjadi pengelola keuangan daerah. Aturan tersebut menyebutkan bahwa gubernur/bupati/wali kota menunjuk bank umum sesuai dengan kriteria dan persyaratan untuk menyimpan uang daerah yang berasal dari penerimaan daerah dan untuk membiayai pengeluaran daerah. “Regulasi saat ini membatasi seperti itu. Dana pemda yang ditempatkan di BPR hanya boleh modal disetor,†ujar Jhendik Handoko, Direktur Utama PD BPR Jepara Arta, kepada Infobank.
Pada 2009 keputusan Pemerintah Kabupaten Sragen mendepositokan dana APBD di dua BPR miliknya, BPR Djoko Tingkir dan BPR BKK Karangmalang, ditentang kalangan legislatif karena melanggar PP tersebut. Akhirnya, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Sragen menarik dana tersebut dari BPR.
Kendati demikian, menurut Jhendik, ada kemungkinan kebijakan tersebut berubah melalui PP tentang BUMD yang akan segera terbit. “Setelah keluarnya PP BUMD, akan ada regulasi yang membolehkan pemda menempatkan dananya dalam bentuk deposito ke BPR. Tapi, pastinya, tunggu keluarnya PP BUMD,†ujar Jhendik.
Tak dapat dimungkiri, industri BPR saat ini berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Beberapa keunggulan BPR yang membuatnya masih bisa mencatatkan pertumbuhan ialah kecepatan dan kemudahannya dalam proses serta kedekatannya dengan nasabah. Hal itu akan menjadi sumber pertumbuhan utama bagi BPR sembari BPR berbenah diri dan menanti dukungan nyata dari pemerintah serta regulator.
Sumber : Infobanknews